Quantcast
Channel: Good News from Indonesia » Akhyari Hananto
Viewing all 811 articles
Browse latest View live

Mengapa Masjid-masjid Tua di Minang Selalu Ada Kolamnya?

$
0
0

By Akhyari Hananto

Pagi pagi murai bakicau

Tasintak lalok bagai diimbau

Ambiak aia ka laman surau

Itu karajo gadih Minangkabau

 

(Syair minang yang disampaikan kembali oleh Datuk Rinof Burhan)

 

Mengunjungi Minangkabau, adalah mengunjungi saksi sejarah panjang kawasan dengan budaya islam yang begitu mengakar, yang telah menjadi darah daging dan way of life bagi masyarakatnya. Kearifan adat dan budaya Minangkabau yang dilandasi dengan nilai-nilai keislaman tersebut telah menjadi ciri khas negeri ini. Maka salah satu falsafah yang dikenal dari masyarakat Minangkabau adalah Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Syara’ mangato, Adat mamakaiFalsafah ini seolah telah mengukuhkan eksistensi Islam dalam kehidupan sosial bermasyarakatnya, dan menjadi hal yang tak terpisahkan dalam keseharian orang Minang.

12193762_10154345893977729_1650607102397394041_n

Masjid Asasi Padang Panjang. Masjid tua saksi sejarah

Rumah-rumah tua yang dijaga tak berubah hingga masa kini, dan tak ketinggalan masjid-masjid dan surau tua yang mampu mengarungi zaman, menjadi pemandangan umum dan menjadi ciri khas yang sangat menarik di Minangkabau.  Masjid-masjid dan surau ini begitu dijaga oleh masyarakat setempat untuk sebisa mungkin tidak berubah bentuk. Kalau kita mengenal surau pada umumnya adalah sebagai tempat beribadah (sholat) semata, ternyata bagi masyarakat Minangkabau surau tak hanya sebagai tempat ibadah saja. Namun Surau waktu dulunya telah menjadi tempat tinggal bagi anak laki-laki yang mulai beranjak remaja. Di suraulah dulunya anak laki-laki yang mulai menginjak masa remajanya lebih banyak menghabiskan waktunya setiap hari. Di surau jugalah mereka ditempa dan dipersiapkan untuk menjadi pribadi yang siap menanggung beban dan amanah di kemudian harinya.

12189542_10154345893917729_2394945119260590732_n

Detail indah masjid Asasi Padang panjang

Okay, mungkin kita akan membahas lebih dalam mengenai hal tersebut di tulisan yang lain. Selama menjelajahi ranah Minang beberapa waktu lalu, saya mencermati betapa masjid-masjid dan surau-surau tua di sana selalu mempunyai…kolam. Sepanjang jalan dari Solok, Sawahlunto, Batusangkar, Padang Panjang, Bukittinggi, saya menemukan hal itu..Surau atau masjid dengan kolam luas di sampingnya. Rupanya kolam-kolam tersebut memang dibangun bersamaan dengan pembangunan masjid di masa lalu.

Kolam di samping Masjid Asasi Padang Panjang. Sentra Aktifitas Masyarakat

Kolam di samping Masjid Asasi Padang Panjang. Sentra Aktifitas Masyarakat

Menurut seorang pengamat sosial dan budaya Minang, Datuk Rinof Burhan, dulunya kawasan Masjid juga tempat kegiatan mandi, mencuci dan kegiatan-kegiatan lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Menyesuaikan letak kolam, maka agar air mengalir cukup deras untuk berwudhu maupun untuk pancuran untuk mandi, maka tempat wudhu dan tempat mandi terletak berada menjorok ke bawah permukaan tanah.

Tempat wudhu di "bawah tanah"

Tempat wudhu di “bawah tanah”

Salah satu masjid yang saya kunjungi adalah masjid Asasi di Sigando, Padang Panjang. Berdiri di antara permukiman penduduk dan pada ketinggian 600 meter, masjid ini didirikan pada tahun 1775, dan merupakan masjid tertua di Padang Panjang, dan salah satu yang tertua dan masih aktif di Sumatera Barat.  Masjid kayu ini begitu indah, dengan lantai yang juga terbuat dari kayu.

Dan…kolam pun terdapat tak jauh dari masjid ini, dan dibuatkan tempat wudhu yang terpisah dari bangunan masjid. Untuk mengambil wudhu, saya harus turun melalui tangga ke bawah tanah, dan air wudhu dialirkan ke bawah dari kolam tersebut. Sangat unik dan khas. Masyarakat setempatpun hingga kini tetap memanfaatkan air dari kolam tua tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Inilah kekhasan Minangkabau, surau adalah sentra dari berbagai aktifitas sosial maupun penghidupan sehari-hari. Bukan hanya sebagai tempat ibadah kepada Yang di Atas, namun juga bersosialisasi secara horizontal antar anggota masyarakat. Tak hanya masjidnya, namun juga…kolamnya. Dan di surau lah …para cerdik cendikia para pemikir dan pendiri bangsa dari Ranah Minang ditempa .

Pagi murai berkicau

Terbangun tidur bagaikan dipanggil

Ambil air ke halaman surau

Itulah kerja gadis Minangkabau

 


Inilah Asal Usul Jepara menjadi Kota Ukir

$
0
0

Menurut LegendaDikisahkan seorang ahli seni pahat dan lukis bernama Prabangkara yang hidup pada masa Prabu Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, pada suatu ketika sang raja menyuruh Prabangkara untuk membuat lukisan permaisuri raja sebagai ungkapan rasa cinta beliau pada permaisurinya yang sangat cantik dan mempesona.

Lukisan permaisuri yang tanpa busana itu dapat diselesaikan oleh Prabangkara dengan sempurna dan tentu saja hal ini membuat Raja Brawijaya menjadi curiga karena pada bagian tubuh tertentu dan rahasia terdapat tanda alami/khusus yang terdapat pula pada lukisan serta tempatnya/posisi dan bentuknya persis. Dengan suatu tipu muslihat, Prabangkara dengan segala peralatannya dibuang dengan cara diikat pada sebuah laying-layang yang setelah sampai di angkasa diputus talinya.
Dalam keadaan melayang-layang inilah pahat Prabangkara jatuh di suatu desa yang dikenal dengan nama Belakang Gunung di dekat kota Jepara.Di desa kecil sebelah utara kota Jepara tersebut sampai sekarang memang banyak terdapat pengrajin ukir yang berkualitas tinggi.
Namun asal mula adanya ukiran disini apakah memang betul disebabkan karena jatuhnya pahat Prabangkara, belum ada data sejarah yang mendukungnya. Menurut SejarahPada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, terdapat seorang patih bernama Sungging Badarduwung yang berasal dari Campa (Kamboja) ternyata seorang ahli memahat pula.
Sampai kini hasil karya Patih tersebut masih bisa dilihat di komplek Masjid Kuno dan Makam Ratu Kalinyamat yang dibangun pada abad XVI.Keruntuhan Kerajaan Majapahit telah menyebabkan tersebarnya para ahli dan seniman hindu ke berbagai wilayah paruh pertama abad XVI. Di dalam pengembangannya, seniman-seniman tersebut tetap mengembangkan keahliannya dengan menyesuaikan identitas di daerah baru tersebut sehingga timbulah macam-macam motif kedaerahan seperti : Motif Majapahit, Bali, Mataram, Pajajaran, dan Jepara yang berkembang di Jepara hingga kini.
Teakart.com

Hati Bening di Danau Terhening

$
0
0

by Akhyari Hananto

Mengunjungi Ranah Minang tanpa mengunjungi danau ini, rasanya tidak lengkap. Inilah magnet keindahan luar biasa, khas alam Sumatera yang memukai para pecinta alam..dan pecinta Indonesia. Saya salah satunya. Inilah Danau Maninjau yang ….saya harus akui, amat indah.  Selain itu, danau ini juga berjuluk Danau Terhening di Indonesia. Di sinilah kita bisa menikmati keheningan permukaan danau dan gunung-gunung yang mengitarinya, juga balutan rumah-rumah adat minang yang atapnya menjulang.

Orang luar Sumbar mungkin banyak yang tidak tahu, di tepi danau inilah lahir seorang tokoh bangsa yang berjasa besar pada negeri ini, pun karya-karyanya tak lekang menerjang jaman. Beliaulah Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan nama Hamka. Di keheningan Maninjaulah…Hamka kecil ditempa, dan bisa jadi terukir dalam hatinya dan menginspirasi karya-karya besar beliau.

Saya pertama kali ke sini pada 2007, melihatnya dari ketinggian bukit…Maninjau yang keemasan diterpa matahari…laksana surga. Danau ini terletak di Kabupaten Agam, kira-kira 140 kilometer sebelah utara Kota Padang, ibukota Sumatera Barat, 36 kilometer dari Bukittinggi, 27 kilometer dari Lubuk Basung, ibukota Kabupaten Agam. Maninjau yang merupakan danau vulkanik ini berada di ketinggian 461,50 meter di atas permukaan laut. Luas Maninjau sekitar 99,5 km² dan memiliki kedalaman maksimum 495 meter. Cekungannya terbentuk karena letusan Gunung yang bernama Sitinjau (menurut legenda setempat), hal ini dapat terlihat dari bentuk bukit sekeliling danau yang menyerupai seperti dinding.

Menurut legenda di Ranah Minang, keberadaan Danau Maninjau berkaitan erat dengan kisah Bujang Sembilan. Danau Maninjau merupakan sumber air untuk sungai bernama Batang Antokan. Di salah satu bagian danau yang merupakan hulu dari Batang Antokan terdapat PLTA Maninjau. Puncak tertinggi diperbukitan sekitar Danau Maninjau dikenal dengan nama Puncak Lawang. Untuk bisa mencapai Danau Maninjau jika dari arah Bukittinggi maka akan melewati jalan berkelok-kelok yang dikenal dengan Kelok 44 sepanjang kurang lebih 10 KM mulai dari Ambun Pagi sampai ke Maninjau.

Danau ini tercatat sebagai danau terluas kesebelas di Indonesia. Sedangkan di Sumatera Barat, Maninjau merupakan danau terluas kedua setelah Danau Singkarak yang memiliki luas 129,69 km² yang berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok.

Jangan lupa, lewati kelok 44. Saya pun merasakan sensasi melewati Kelok 44 yang sudah terkenal itu. Kelok 44 merupakan daerah perbukitan yang berada di atas danau Maninjau. Dinamakan Kelok 44 karena memang terdapat 44 buah kelokan, di mana setiap kelok diberi nomor secara berurutan. Dalam bahasa Minang, sering disebut dengan Kelok Ampek Puluh Ampek.

Kelok 44

Dari kelok 44, terlihat pesona danau Maninjau yang begitu anggun. Terlihat di sekeliling danau, tampak barisan bukit berdiri tegak, terlihat hijau nan cantik. Tampak panorama danau dengan nuansa kebiruan berpayungkan langit yang dipenuhi gumpalan awan yang bergerak teratur. Sesekali saya memperlambat laju kendaraan untuk sekedar menikmati panorama dari atas, sungguh damai rasanya.

Tak cukup dengan danaunya yang menawan, persawahan padi di sekelilingnya juga menambah keanggunan dana kebanggaan Indonesia ini. Tak banyak yang bisa saya tulis, yang jelas..danau ini meninggalkan jejak dalam di memori saya. Kebesaran namanya, keanggunannnya, dan keheningannya…membuat saya ingin selalu kembali ke Minang.

Udeng, Ikat Kepala khas Kaum Pria Pulau Dewata

$
0
0

Seperti juga daerah-daerah lain di Indonesia, masyarakat Bali pun memiliki busana tradisional. Salah satunya adalah udeng, ikat kepala yang dikenakan kaum pria Bali. Udeng umum dikenakan oleh masyarakat dari berbagai lapisan masyarakat. Baik kalangan bangsawan maupun orang biasa, dari anak-anak hingga sesepuh, seluruh masyarakat Bali menggunakan ikat kepala ini.

Udeng terbuat dari kain dengan ukuran panjang kurang lebih sekitar setengah meter. Pembuatan udeng memerlukan keahlian tersendiri, maka dari itu umumnya udeng diproduksi di daerah-daerah tertentu. Perajin udeng dan kerajinan-kerajinan berbahan kain lainnya banyak diproduksi di daerah Karangasem. Salah satu desa yang terkenal karena kerajinan kain adalah Desa Sidemen.

Berkunjung ke desa ini, dapat ditemukan udeng dalam berbagai motif, mulai dari polos, ornamen metalik, corak batik, serta corak lain yang lebih modern.

Udeng memiliki bentuk asimetris bilateral dengan sisi sebelah kanan lebih tinggi dari sisi kirinya. Bentuk asimetris ini memiliki makna filosofis setiap orang harus berusaha melakukan kebajikan (kanan).

Kaum pria Bali menggunakan udeng dalam banyak aktivitas keseharian mereka. Masyarakat menggunakan udeng baik dalam pertemuan informal, acara-acara resmi, hingga ritual peribadahan dan upacara keagamaan. Ketika beribadah di pura, udeng digunakan untuk mencegah adanya rambut yang rontok dan dapat melanggar kesucian pura. Udeng yang digunakan saat beribadah umumnya berwarna putih polos. [Ardee/IndonesiaKaya]

Ombak Kidal, Gajah Mada, dan Africa van Samawa

$
0
0

By Akhyari Hananto

Berapa banyak dari pembaca yang pernah ke Dompu? Mungkin tak banyak. Mungkin juga tak banyak yang pernah mendengar namanya, kalaupun pernah mendengar namanya, tak banyak yang mengetahui letak Dompu. Saya pernah satu kali ke kabupaten yang terletak di tengah Pulau Sumbawa ini. Tak sulit pergi ke sana, cukup terbang dan mendarat ke Kab Bima, dan berkendara 1.5 jam ke arah barat, melewati jalanan halus menuju Dompu.

Kabupaten Dompu, Propinsi Nusa Tenggara Barat dikenal secara luas sebagai daerah penghasil susu kuda liar dan madu Sumbawa. Selain itu, di kabupaten ini juga terdapat keanekaragaman jenis hewan penghasil daging yaitu Kerbau Rawa atau dikenal masyarakat sebagai kerbau lumpur yang memiliki genetik yang berbeda dengan kerbau di daerah lainnya.

Setengah dari wilayah Gunung Tambora masuk dalam teritori Kabupaten Dompu. Sehingga tak mengherankan jika empat dari tujuh jalur faforit pendakian puncak tambora berada di Dompu. Di Dompu jugalah terletak Pantai Lakey, surga surfing para pecinta selancar nomor tiga di dunia.  Keunikan Pantai Lakey di Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat dibandingkan dengan spot-spot surfing di tempat lain karena ombak kidalnya. Istilah ombak kidal karena memiliki arah ombak sapuan ke kiri bukan ke kanan sebagaimana umumnya pantai lainnya.

Ada satu yang menarik tentang Dompu. Dalam Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada, Dompu termasuk salah satu yang terucapkan :

Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.

Yang artinya :

Dia Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”. 

Gurun sekarang adalah Nusa Penida, Seran adalah Seram, Tanjungpura adalah Ketapang di Kalimantan Barat, Haru adalah Karo di Sumatera Utara, Pahang adalah Semenanjung Melayu, Bali adalah Bali, Sunda adalah Pasundan di Jawa Barat, Palembang adalah Palembang, Tumasik sekarang jadi negara Singapura, dan Dompo adalah Dompu, tempat yang kita bicarakan ini.

Selain itu, Gajah Mada yang setelah tak lagi menjabat Maha Patih Majapahit, kemudian berkelana ke arah timur dan meninggal  pada tahun 1290 Saka atau 1368 Masehi. Hingga saat ini, tak diketahui makam beliau. Namun ada satu tempat di Dompu , bernama desa Daha, yang dipercaya sebagai tempat peristirahatan terakhir sang maha patih. Wallahua’lam.

Apapun itu, Dompu, dan juga tempat-tempat lain di Sumbawa, layak masuk dalam daftar tempat yang harus anda kunjungi. Apabila anda berkunjung ke Kabupaten Dompu anda akan merasakan seperti di Afrika dengan hamparan Savana yang luas dengan hewan yang hidup liar Kuda, Sapi, Kambing, Rusa, dan Monyet..yang semuanya hidup bebas. Laksana di Afrika. Hal tersebutlah yang menyebabkan Kabupaten Dompu dijuluki Afrikanya Sumbawa atau dalam bahasa Belanda disebut Afrikaanse Van Samawa  (Africa of Sumbawa).

Jadi..kapan ke Dompu?

Bali dan Kain Poleng

$
0
0

Kain Poleng bermotif kotak dengan warna hitam-putih sudah menjadi bagian dari kehidupan religius umat Hindu di Bali sehingga kain poleng (kotak-kotak hitam-putih) ini menjadi salah satu icon ciri khas Bali. Tidak saja digunakan untuk keperluan religius yang sifatnya sakral, kain poleng juga banyak digunakan untuk hal-hal yang sifatnya profan atau sekuler.

Penggunaan kain poleng biasa kita jumpai untuk tedung (payung), umbul-umbul, untuk menghias palinggih (tugu), patung, kulkul (kentongan). Tidak hanya benda seni sakral, bahkan pohon yang ada di pura pun banyak dililit dengan kain poleng. Kain poleng (kotak-kotak hitam-putih) juga banyak digunakan untuk menghias benda-benda profan baik di perkantoran maupun di hotel. Misalnya untuk meja makan dan senagai dekorasi ruangan. Kain poleng untuk benda profan ini sering dicampuri dengan corak atau motif baru sehingga disebut kain poleng anyar.
Demikian pula halnya dalam kesenian Bali, baik itu seni drama, dramatari, maupun Pewayangan. Dalam drama gong, yang sering memakai kain poleng adalah penakawannya. Sedangkan dalam wayang kulit, tokoh yang memakai hiasan poleng, selain penakawan Tualen dan Merdah.

Apa sebenarnya makna kain poleng itu?
Apa pula perannya dalam kehidupan umat Hindu di Bali?
Bagaimana pula nilai-nilai filosofisnya?
Menurut penelitian I Ketut Rupawan, dimana hasil penelitiannya tersebut telah mendapatkan pengakuan dari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, sehingga peneliti yang sehari-harinya guru ini, berhak menyandang gelar Magister Agama Hindu (M.Ag).

Menurutnya, bentuk saput poleng ternyata beraneka ragam. Misalnya dari segi warna, ukurannya, hiasannya, hiasan tepinya, bahan kainnya, dan ukuran kotak-kotaknya. Berdasarkan warnanya, ada kain poleng yang disebut rwabhineda (hitam dan putih), sudhamala (putih, abu-abu, hitam), dan tridatu (putih, hitam, merah). Dilihat dari segi ukuran kotaknya pun berbeda. Ada yang berukuran 1 x 1 cm, 3 x 3 cm, dan 5 x 5 cm.

Berdasarkan perkiraan, perkembangan warna ini juga mencerminkan tingkat pemikiran manusia, yakni dari tingkat sederhana menuju perkembangan yang lebih sempurna. Diperkirakan, kain poleng yang pertama ada dan digunakan umat Hindu adalah kain poleng rwabhineda. Setelah itu barulah muncul kain poleng sudhamala dan tridatu.

Makna filosofis saput poleng rwabhineda, menurut Rupawan adalah mewujudkan rwabhineda itu sendiri. Menurut faham Hindu, rwabhineda itu adalah dua sifat yang bertolak belakang, yakni hitam-putih, baik-buruk, utara-selatan, panjang-pendek, tinggi-rendah, dan sebagainya.

Sedangkan saput poleng sudhamala merupakan cerminan rwabhineda yang diketengahi oleh perantara sebagai penyelaras perbedaan dalam rwabhineda

Filosofi yang sama juga tercermin dalam saput poleng tridatu. Warna tridatu ini melambangkan ajaran Triguna yakni satwam, rajah, tamah. Warna putih identik dengan kesadaran atau kebijaksanaan (satwam), warna merah adalah energi atau gerak (rajah) dan warna hitam melambangkan penghambat (tamah).

Jika dikaitkan dengan Dewa Tri Murti, menurut Rupawan, warna merah melambangkan Dewa Brahma sebagai pencipta, warna hitam lambang Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan warna putih melambangkan Dewa Siwa sebagai pelebur. Dewa Tri Murti ini terkait dengan kehidupan lahir, hidup dan mati.

Kain Poleng dalam budaya Bali merupakan pencetusan ekspresi penghayatan konsep Rwa Bhineda, suatu konsep keseimbangan antara baik dan buruk, yang menjadi intisari ajaran tantrik (tantrayana). Dengan menjaga kesimbangan antara kebaikan dan keburukan dapat menciptakan kesejahteran dalam kehidupan.

Kain Poleng yang diikatan pada pohon-pohon besar atau juga tempat yang dianggap tenget(angker) dimaksudkan untuk memberikan tanda bahwa pada lokasi tersebut tinggal (ditempatkan)/stana energi “roh”para bhuta/penunggu karang (danhyangan).

Lalu kenapa Pecalang memakai busana kain Poleng ?
Kini, saput poleng seakan-akan sudah menjadi busana seragam bagi pecalang (petugas keamanan desa adat). Hal itu memang sudah diisyaratkan oleh Sastra / Lontar Purwadigama, bahwa seorang pecalang setidak-tidaknya mengenakan udeng atau destar khusus yang berbeda dengan udeng yang dikenakan patih sebagai pejabat kerajaan, mewastra akancut nyotot pratiwi (memakain kain atau kamben dengan ujung kain menusuk tanah), makampuh poleng (memakai saput poleng), dan sebagainya.

Dengan demikian pecalang semestinya bercermin pada saput poleng yang dikenakan, yakni mengetahui adanya rwabhineda, keadaan aman dan kacau, baik maupun buruk, yang selanjutkan melalui kedewasaan intelektual dan kesigapannya (celang), dapat mengendalikan situasi sehingga ketertitaban Desa Pekraman dapat diwujudkan.

Kain Poleng yang dipakai oleh para pecalang juga terilhami oleh konsep ini, dimana seorang yang dipercayai oleh warga untuk menjadi “pengaman” hendaknya mampu dengan tegas memilah yang benar dan buruk.

Komangputra.com

 

Pulau Emas, Mummi Ramses, dan Bandara Kebanggaan Thailand

$
0
0

by Akhyari Hananto

Ketika saya ke Bangkok pertama kali pada 2007, otoritas penerbangan Thailand baru saja membuka bandara baru yang modern, Suvarnabhumi Airport yang letaknya sedikit di luar kota Bangkok.  Bandara besar ini terlihat gemerlapan saat malam dari kejauhan..dan memang sangat keren. Jalan-jalan layang yang tumpang tindih rapi, parkiran yang rapi bahkan terlihat sebagai salah satu titik perhatian, pencahayaan yang bagus, serta manajemen yang baik…membuat saya terpesona pada bandara kebanggan Thailand ini. Tadi malam saya transit di bandara ini…dan sepertinya bertambah makin modern.

Namun ada yang sedikit aneh. Di telinga saya, karena kata “Suvarnabhumi” bukanlah bahasa Thailand, karena justru mirip-mirip bahasa Jawa kuno atau mungkin Sansekerta.

Saya justru kaget ketika bertemu dengan seorang teman saya yang bekerja di perpustakaan kerajaan Thailand, menurutnya diambil dari sebuah pulau utama di Indonesia, yakni Sumatera. Hah? Ketika saya kejar lagi untuk menggali lebih dalam, dia hanya menjawab bahwa semua orang Thailand juga tahu bahwa Suvarnabhumi adalah Sumatera. Jawaban yang tidak seperti harapan saya.

Bandara kebanggaan Thailand. Suvarnabhumi

Menarik. Mungkin saja karena hubungan dekat kerajaan Siam (Thailand masa lalu), dengan kerajaan Sriwijaya yang menguasai Sumatera dan sebagian Asia Tenggara pada abad ke-7 hingga abad ke-11 , sehingga Suvarnabhumi dianggap sebagai “aset” bersama. Namun ternyata, istilah Suvarnabhumi mulai disebut-sebut jauh sebelum era Sriwijaya.

Dalam berbagai naskah kuno yang ditemukan di India, pulau Sumatera yang kita kenal sekarang ini dulunya disebut dengan nama Sansekerta: “Suwarnadwipa” yang berarti pulau emas atau “Suwarnabhumi”  yang berarti tanah emas. Aha! Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah literatur India sebelum Masehi. Nama-nama sayangnya ini tidak pernah saya temukan dalam buku sejarah yang diajarkan di sekolah saya dulu, pun sejarah nusantara sebelum masehi.

Saya pernah membaca bahwa di suatu tempat yang sekarang kita sebut Tapanuli, dulunya terdapat sebuah kota pelabuhan yang sibuk bernama Kota Barus. Kota yang bagi banyak dari kita masih misterius ini menjadi kota perdagangan yang penting di timur pada masa Dinasti ke-18 Kerajaan Mesir (sekitar 1.567 SM- 1.339 SM) , dan diyakini bahwa Barus sudah berdiri sejak 3000 SM. 

Interior bandara yang keren

BARUS barangkali adalah satu-satunya kota di Nusantara yang namanya telah banyak disebut-sebut sejak sebelum masehi oleh literatur-literatur dalam bahasa Yunani, Siriah, Armenia, Arab, India, Tamil, dan China. Kejayaan kota Barus sebagai pelabuhan internasional sejak dulu tercermin dalam sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolemaus, seorang gubernur dari Kerajaan Yunani yang ditempatkan di pos Alexandria, Mesir, pada awal Masehi.

Di peta itu disebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang menghasilkan wewangian dari kapur barus. Diceritakan pula, bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari Barousai itu merupakan salah satu bahan yang digunakan untuk pembalseman mayat (mumi) pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II, jauh sebelum Masehi.

Herodhotus

Dinyatakan oleh Herodotus dalam bagian ”Catatan dan Hikayat Raja-Raja Mesir” bahwa orang Mesir pernah mencapai suatu pulau melalui jalan menuju timur dan dilanjutkan ke tenggara dimana tempatnya terdapat kapur barus dan emas yang melimpah. Lalu dalam sebuah manuskrip Yahudi kuno yang menyebutkan bahwa selain Barus, di dalam Injil Perjanjian Lama disebutkan (semoga saya tidak salah), bahwa Raja Solomon (dalam Islam disebut Raja Sulaiman) mengirimkan kapal-kapal ke Ophir untuk mencari emas dan kayu cendana terbaik untuk membangun kuil-kuil pertamanya. Diceritakan bahwa perjalanan kapal-kapal itu memakan waktu 3 tahun. Cukup masuk akal jika Ophir yang disebut di atas bisa jadi adalah Gunung Ophir atau disebut juga gunung Talamau, sebuah gunung yang terletak di Pasaman, Sumatera Barat, yang letaknya jauh dari pusat kerajaan Sulaiman di ujung barat Timur Tengah (Palestina dan Israel masa sekarang)

Benarkah? Wallahu’alam. Karena, orang Malaysia juga meyakini bahwa Gunung Ophir adalah Gunung Ledang, sebuah gunung yang dipercaya menyimpan banyak sejarah, yang terletak di Johor. Tapi diluar pendapat bahwa Ophir adalah gunung di Sumatera atau di Malaysia, yang jelas bahwa keuntungan geografis Nusantara sudah diketahui dan dimanfaatkan dengan baik oleh berbagai peradaban dunia jauh sebelum masa sekarang. Indonesia sejak dulu dikenal karena kesuburan tanahnya, kekayaan kandungan alamnya, dan orang-orangnya yang pekerja keras. Di luar benar tidaknya temuan-temuan sejarah di atas, saya sangat meyakini bahwa hampir tidak mungkin bahwa Nusantara tidak mengambil banyak berperan dalam perkembangan peradaban-peradaban dunia sejak masa lampau.

Ketika saya meninggalkan Thailand setelah hampir sebulan tinggal di negeri indah tersebut, tanpa sadar saya mengucapkan terima kasih pada bandara Suvarnabhumi, karena telah membuat saya menggali dan menemukan sejarah kejayaan si Pulau Emas, sambil membayangkan, kenapa tidak ada bandara di Sumatera diberi nama Suvarnabhumi atau SuvarnaDwipa?

“Rumah Besar ini Milik Kita”

$
0
0

By Akhyari Hananto

Ada pepatah yang mengatakan bahwa kecintaan pada bangsa dan negara justru akan tumbuh ketika kita tinggal di luar negeri.Saya termasuk orang yang meyakini bahwa hal itu benar adanya, bukan hanya karena saya pernah tinggal cukup lama di luar negeri, tapi juga banyak orang Indonesia yang saya temui di luar sana mengakui hal yang sama.

—–

“Dari Indonesia ya, Mas?” suara itu terdengar dari meja saya duduk saat sedang menikmati kopi saya di sebuah coffeshop di jalan antara Leicester dan London, beberapa tahun lalu. “Iya, pak..saya dari Jogja” jawab saya sambil menoleh ke belakang. Yang saya lihat adalah seorang paruh baya yang mengenakan pakaian sangat formal, duduk di meja sebelah bersama 3 asistennya yang orang bule. Saya diundang untuk bergabung bersama di meja beliau sambil menyeruput kopi di dinginnya udara Inggris yang sedang bersalju. Dan kami mulai berbincang mengenai banyak hal, mulai dari sepakbola hingga harga BBM. Dari perbincangan panjang tersebut saya ketahui bahwa beliau telah hampir 20 tahun di Inggris, bekerja sebagai seorang petinggi di sebuah perusahaan farmasi terkemuka, dan beliau telah menjadi warga negara Inggris sejak lama.

Kemudian, sampailah saya pada sebuah pertanyaan yang pasti selalu saya tanyakan ketika saya berjumpa orang Indonesia (atau keturunan Indonesia) di luar negeri. “Apakah Bapak tidak kangen tanah air?” tanya saya spontan. Tanpa saya sangka, suasana menjadi hening. Bapak tadi tersenyum kecil sambil memutar-mutar cangkir kopinya. Saya mulai menyadari bahwa pertanyaan saya tadi membuat matanya sedikit berkaca-kaca. “Saya sudah lama tak pulang. Lama sekali. Rasa rindu saya pada tanah air sungguh tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata” ungkapnya sambil menyeruput kopinya.

Momen kecil itu begitu membekas di hati saya, karena saya merasa bahwa mungkin perasaan beliau mewakili perasaan semua diaspora Indonesia, yakni orang-orang Indonesia yang tinggal di luar negeri, atau mereka yang punya keterikatan darah dan jiwa dengan Indonesia.

Saya sempat diundang ke Kongres I Diaspora Indonesia di Los Angeles 3 tahun lalu, yang digagas Dubes RI untuk AS waktu itu, Dino Patti Djalal adalah langkah besar untuk menyatukan hati, pikiran, dan sumber daya para Diaspora indonesia, yang terpisah jarak dan waktu dengan tanah air. Mereka boleh saja tinggal di Rusia, di Malaysia, di AS, di Jepang, di mana saja, namun hati mereka tetap Merah Putih, darah mereka tetap darah merah Nusantara, dan mereka akan selalu merasa terpanggil untuk membaktikan diri untuk tanah air yang mereka tinggalkan, dengan cara mereka. Meski secara fisik mereka tak ada di tanah air.

Menyatukan 10 juta diaspora Indonesia yang ‘tercecer’ di berbagai sudut dunia, bukanlah perkara mudah. Selain karena besarnya jumlah mereka (lebih dari 2 x lipat penduduk Singapura, lebih besar dari populasi Swedia atau Austria) dan begitu tersebarnya mereka, juga kadang mereka tidak mempunyai tempat mengadu ketika mereka mempunyai hal yang ingin diutarakan, atau kontribusi apa yang bisa mereka berikan untuk bangsa dan negara, atau bagaimana negara bisa memberikan asistensi dan menjalin hubungan yang berkesinambungan dengan mereka.

Namun ada juga yang merisaukan mereka.

Saya bertemu dengan Rahardian, orang Indonesia yang telah 9 tahun tinggal di Jepang. Saya cukup tertegun ketika dia mengatakan bahwa dia telah lama ingin pulang dan berkarya di Indonesia, terlebih di tanah kelahirannya, Bukittinggi di Sumatera Barat. Namun ada satu hal yang selalu membuatnya mengurungkan niatnya. “ Setiap saya melihat streaming berita di TV-TV nasional kita, atau membaca berita di media nasional kita secara online, sedikit sekali, hampir tidak ada yang positif, semua berisi kegagalan, kekacauan, intrik politik, dan lain-lain. Now tell me, what is there for me in Indonesia? ” katanya.

Saya sering mendapatkan pertanyaan serupa, bukan hanya dari saudara-saudara kita di luar negeri, tapi bahkan dari teman-teman di dalam negeri. Khusus untuk teman-teman di luar negeri, tentu saya tidak berniat untuk mengiming-imingi mereka untuk pulang ke tanah air, dengan mengatakan bahwa Indonesia sudah berbeda dengan Indonesia 10 tahun lalu, atau mengatakan bahwa Indonesia akan masuk dalam 10 besar kekuatan ekonomi dunia, atau hal-hal yang ‘menggiurkan lainnya. Tidak. Berkarya untuk bangsa, tidak harus dengan eksistensi secara fisik di tanah air. Saya katakan kepada mas Rahardian “Ibarat rumah, negeri kita atapnya ada yang bocor, lantainya ada yang berlubang, banyak rayap dan nyamuk, dan dindingnya perlu dicat ulang. Mari perbaiki bersama-sama. Karena ini adalah rumah kita”.

Saya kemudian membayangkan, betapa orang-orang Indonesia di luar negeri, adalah orang-orang mempunyai network, brain power dan kecintaan pada tanah air yang begitu besar dan selalu menyala-nyala. Membayangkan mereka berkarya untuk bangsanya secara terorganisir dan terkoordinasi, adalah membayangkan rumah bernama Indonesia yang dicintai dan dihargai banyak orang, termasuk para tetangga.

(image: villa bonna Bali)


Anggrek Kalajengking dari Indonesia. Konon Pembawa Sial :)

$
0
0

Namanya Anggrek Kalajengking atau Arachnis flos-aeris. Bentuknya unik karena memiliki bunga yang mirip hewan kalajengking. Dan mitosnya, anggrek unik dan harum ini mampu membawa sial dan kesusahan hidup bagi setiap orang yang memeliharanya. Benarkah?

Di Indonesia anggrek ini dikenal dengan nama anggrek kalajengking atau anggrek ketonggeng. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai scorpion orchid. Nama latin tanaman ini adalah Arachnis flos-aeris (L.) Rchb.f. dengan beberapa nama sinonim seperti Aerides arachnites Sw., Aerides matutina Willd., Arachnanthe flos-aeris (L.) J.J.Sm., Arachnanthe moschifera (Blume) Blume, Arachnis flos-aeris var. gracilis Holttum, Arachnis moschifera Blume, Epidendrum aerosanthum St.-Lag., Epidendrum flos-aerisL., Limodorum flos-aeris (L.) Sw., Renanthera arachnites (Sw.) Lindl., Renanthera flos-aeris (L.) Rchb.f., Renanthera moschifera (Blume) Knuth, dan Renanthera moschifera(Blume) Hassk.

Anggrek kalajengking (Arachnis flos-aeris) memang masih berkerabat dekat dengan Anggrek kalajengking putih (Arachnis hookeriana), Anggrek kalajengking merah (Arachnis maingayi) maupun Anggrek berbulu leopard (Arachnis celebica). Namun tumbuhan epifit ini memiliki karakter yang berbeda.

Anggrek Kalajengking (Arachnis flos-aeris)

Jenis anggrek ini memiliki batang yang kuat dan tinggi dengan ruas-ruas sepanjang 4-10 cm. Memiliki daun yang tebal berdaging dan pipih memanjang dengan panjang daun hingga mencapai 35 cm dan lebar sekitar 5 cm. Bunganya unik yang sekilas menyerupai hewan kalajengking lengkap dengan sengat dan kaki-kakinya. Oleh karena itulah anggrek ini kemudian disebut sebagai anggrek kalajengking. Bunga tumbuh tidak terlalu lebat dengan ukuran tinggi antara 10-11 cm dan lebar antara 7-8,5 cm. Bunga anggrek ini berwarna kuning semu kehijauan dengan lurik berwarna cokelat gelap. Bunga beraroma harum.

Sebagai anggrek epifit, anggrek kalajengking tumbuh menempel di batang pohon dengan ketinggian 12 m di atas permukaan tanah. Saat muda, memiliki akar gantung. Seiring dengan bertambahnya usia, akar gantung akan menyentuh tanah dan berubah fungsi menjadi akar tunjang sebagai penunjang dari batangnya. Karena karakteristik tersebut anggrek jenis ini mudah pula dipelihara sebagai anggrek tanah.

Anggrek Kalajengking merupakan salah satu flora asli Indonesia. Anggrek ini tersebar mulai dari pulau Sumatera, Jawa, Bali, hingga Kalimantan (Indonesia dan Malaysia). Tumbuhan ini tidak termasuk anggrek yang dilindungi maupun anggrek langka yang terancam punah.

Anggrek Kalajengking (Arachnis flos-aeris)

Anggrek Kalajengking (Arachnis flos-aeris)

Di balik keindahan dan keunikannya, ternyata Anggrek Kalanjengking membawa mitos tersendiri. Menurut mitos tersebut, siapa yang memelihara atau memiliki anggrek kalajengking akan tertimpa kesialan dan kesusahan hidup. Seperti rumah tangga yang tidak harmonis, sering bertengkar dengan pasangan atau tetangga, serta gampang terkena musibah dan penyakit.

Namun mitos biarlah tetap menjadi mitos. Kenyataannya banyak orang yang ‘kepincut’ dengan keunikan jenis anggrek ini. Mereka memelihara anggrek kalajengking sebagai tanaman hias tanpa terpengaruh akan mitosnya.

Klasifikasi Ilmiah Anggrek Kalajengking. Kerajaan : Plantae. Divisi : Tracheophyta. Kelas : Liliopsida. Ordo : Asparagales. Famili : Orchidaceae. Genus : Arachnis. Spesies : Arachnis flos-aeris (L.) Rchb.f.

Alamendah.org

Sejuta Gajah di Tengah Indochina

$
0
0

By Akhyari Hananto

Di sebuah sudut sungai Mekong yang permukaannya surut, di antara sisa-sisa bangunan kolonial Prancis yang masih berdiri, di bawah patung raja Souphanouvong yang berdiri tegak menghadap daratan Thailand di seberang sungai, saya melihat matahari mulai tenggelam dan meninggalkan rona merah di atas sungai terpanjang di Asia Tenggara tersebut. Pukul 5:30 sore, suasana sudah mulai lengang. Inilah ibukota negara yang paling lengang di antara negara-negara di semenanjung Indochina. Kota ‘kecil’ ini sedikit mengingatkan saya akan Phnom Penh, ibukota negara Kamboja yang saya tinggali selama beberapa lama. Tak seperti Phnom Penh yang mulai penuh sesak oleh kendaraan, Vientianne jauh lebih lengang, teratur, dan lebih bersih.

Saya berada di Vientianne, ibukota negara Laos, sebuah negeri di tengah-tengah Indochina yang dikepung  China di utara, Thailand di barat dan selatan, Kamboja di selatan, serta Vietnam di timur. Mungkin di sinilah titik pertemuan yang paling dramatis di Indochina yang menyerap  kebudayaan dan peradaban India dan China (asal nama Indochina). Negeri ini berjuluk “The Land of Million Elephants”, negeri sejuta gajah.

Vientianne menjadi kota yang penting bagi kerajaan Lane Xang (yang berarti “sejuta gajah”) pada tahun 1545. Setelah hancur diserbu oleh kerajaan Siam (kini Thailand), Vientianne kembali menjadi kota penting setelah Prancis menjadikannya ibukota salah satu protektoratnya, Laos. Kota yang dulunya sering disebut sleepy town ini kini adalah tempat tinggal bagi sekitar 800 ribu penduduk, dan menjadi kota terbesar di Laos.

Foto panorama That Luang di tengah Vientianne

Kota ini berada di pinggir sebelah barat daya di satu sisi Sungai Mekong yang meliuk-liuk terlihat dari udara. Entah sampai kapan suasana lengang dan menyenangkan di Vientianne akan bertahan, mengingat industri pariwisata begitu booming saat ini. Bayangkan saja, negara dengan populasi tak sampai 7 juta jiwa ini menerima sekitar 4.5 juta turis tahun lalu. Sebuah pencapaian luar biasa, dan kemungkinan dari sektor inilah Laos akan bisa mengejar ketertinggalan ekonomi dari negara-negara lain di Asia Tenggara yang lebih dulu maju.

Turis-turis yang datang ke Laos umumnya mencari suasana atau atmosfer Indochina yang jauh dari kesan metropolitan, dan tempat-tempat di Laos memang menawarkan hal tersebut. Selain itu, pemandangan hamparan padi luas, serta pedesaan yang masih memelihara keaslian bentuknya, menawarkan pengalaman yang sudah jarang didapati di negara-negara tetangganya. Selain itu, harga-harga di negara tersebut juga tergolong masih sangat murah dan terjangkau, lalu orang-orangnya yang sangat ramah pada tamu, kawasan pegunungan yang masih asli, serta peninggalan-peninggalan sejarah yang masuk daftar warisan dunia versi UNESCO.

Luang Prabang, ikon wisata Laos (visit-Laos.com)

Sektor pariwisata menjadi sektor paling utama menggenjot ekonomi Laos setelah pertanian.

Di samping itu, letaknya yang berada di tengah antara China dan Thailand, menjadikanya sangat strategis sebagai penghubung atau fasilitator perdagangan kedua negara yang ekonominya lebih maju tersebut. Laos memang sebuah negara daratan yang tak berbatasan dengan lautan, hal ini cukup membuat ekonominya cukup tertinggal dibanding tetangga-tetangganya yang mempunyai laut dan pelabuhan.

Tahun-tahun mendatang, ekonomi Laos diyakini akan makin tumbuh cepat (sejak 2008-2013, ekonomi Laos tumbuh 8% per tahun), karena negara ini akan dilewati jalur kereta api supercepat yang menghubungkan Kunming (China) dan Bangkok (Thailand), dan perjalanan darat dari Bangkok ke Vientianne bisa ditempuh dalam waktu 2.5 jam saja. Lebih dari 400 km track kereta supercepat ini akan melewati Laos termasuk (Vientianne), dan diyakini akan makin membuat ekonomi Laos makin cepat tumbuh dengan ditopang sektor perdagangan dan pariwisata.

 

Di sepanjang jalan di ibukota, saya melihat bahwa negara ini memang sedang dipersiapkan untuk berlari cepat. Gedung-gedung baru dibangun, jalan-jalan juga dibangun, infrastruktur juga mulai diperbaiki, dan sepanjang yang saya tahu, makin banyak orang yang bisa atau memahami bahasa Inggris. Rakyat Laos memahami betul bahwa jika mereka tidak siap, maka kesempatan besar di depan mata akan melayang.
Seorang kawan dari Laos yang saya temui di Vientianne mengatakan “ini momentum langka bagi rakyat kami. Kami tak akan melepaskannya” sambil menyunggingkan senyum. Dia merupakan salah satu orang yang begitu intens mengikuti perkembangan ekonomi negaranya. “Kalau mau melihat Vientianne yang lengang, ini lah saatnya. Sebelum terlambat, bawa lah kawan-kawan dari Indonesia untuk datang. Tak lama lagi, kota ini akan berubah cepat”.
Vat Sisaket, saksi sejarah Laos

Vat Sisaket, saksi sejarah Laos

Di kuil Vat Sisaket, saya termenung. Kuil yang dibangun pada 1818 inilah satu-satunya yang tersisa saat tentara kerajaan Siam menyerbu Vientianne pada 1828. Inilah kuil Buddha tertua di Laos. Inilah saksi bisa bagaimana Laos menjalani masa demi masa. Dan sepertinya, kuil ini sekali lagi akan menjadi saksi perubahan Negeri Sejuta Gajah ini memasuki jaman baru.
Mari kita tunggu

Hebatnya Makna dan Filosofi “Gundul-gundul Pacul”

$
0
0

Akhyari Hananto

Setiap anak-anak sekolah dasar di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, hampir dipastikan mengenal lagu ini, bahkan bisa menyanyikannya dengan lancar. Setidaknya di masa saya SD, lagu ini menjadi lagu “wajib” yang harus mampu saya nyanyikan.

Namun, sepertinya tak banyak yang memahami makna dan filosofi lagu yang begitu populer ini.

Meski di setiap buku lagu-lagu daerah nama R. C. Hardjosubroto tercantum sebagai pencipta lagu Gundul-Gundul Pacul, namun konon lagu ini diciptakan pada tahun 1400-an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya kala masih remaja. Wallahu a’lam.

Orang-orang tua masa lalu, mengerti benar makna dan filosofinya.

 

Gundul gundul pacul-cul, gembelengan

Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan

Wakul ngglimpang segane dadi sak latar

Wakul ngglimpang segane dadi sak latar

Mari kita coba. Gundul, seperti yang kita tahu, adalah kepala yang rambutnya dicukur habis. Kepala adalah lambang kehormatan atau kemuliaan seseorang, sedangkan rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Maka, gundul artinya kehormatan yang tanpa mahkota.

Lalu, pacul sebagai salah satu alat pertanian yang terbuat dari lempeng besi segi empat ini melambangkan kawula rendah yang kebanyakan adalah petani. Jadi, gundul gundul pacul itu artinya bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia pembawa pacul untuk mencangkul, menguapayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Orang Jawa sendiri memiliki filosofi tentang pacul, pacul itu katanya adalah papat kang ucul atau empat yang lepas. Maksudnya adalah kemuliaan seseorang akan sangat tergantung pada empat hal. Yakni, bagaimana seseorang menggunakan matanya, hidungnya, telinganya, dan mulutnya. Mata itu seharusnya digunakan untuk melihat kesulitan rakyat, telinga digunakan untuk mendengar nasihat, hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan, dan mulut digunakan untuk berkata-kata adil. Jika, keempat hal tersebut lepas dari seorang pemimpin maka lepaslah sudah kehormatannya.

Kemudian arti gemblelengan yaitu besar kepala, sombong, dan suka bermain-main dalam menggunakan kehormatannya. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dirinya sesungguhnya mengemban amanah rakyat, tetapi dia malah menggunakan kekuasaannya sebagai kemuliaan dirinya, menggunakan kedudukannya untuk berbangga-bangga di antara manusia, dan menganggap kekuasaan itu karena kepandaiannya.

Selanjutnya arti nyunggi nyunggi wakul-kul maksudnya adalah membawa bakul (tempat nasi) di kepalanya. Wakul sendiri menyimbolkan kesejahteraan rakyat, kekayaan negara, sumber daya, pajak, dan sebagainya. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dia mengemban amanah penting membawa bakul di kepalanya. Artinya bahwa kepala yang dia anggap sebagai kehormatannya berada di bawah bakul milik rakyat. Pemilik bakul lebih tinggi kedudukannya dibandingkan pembawa bakul karena ia hanyalah pembantu si pemiliknya. Dan sekarang banyak sekali pemimpin yang masih gembelengan, melenggak lenggokan kepalanya dengan sombong, mereka pun bahkan bermain-main dengan kedudukannya.

Akibat dari semua itu ya wakul ngglimpang segane dadi sak latar, bakul terguling dan nasinya tumpah kemana-mana. Artinya, jika pemimpin gembelengan maka sumber daya akan tumpah kemana-mana, tidak terdistribusi dengan baik dan kesenjangan muncul dimana-mana. Nasi yang sudah tumpah ke tanah sudah tidak bisa untuk dimakan lagi karena kotor.

Jadi, Gundul gundul Pacul-cul artinya orang yang keempat inderanya (mata, hidung, telinga, dan mulut) tidak digunakan dengan baik akan mengakibatkan Gembelengan atau sombong. Sedangkan Nyunggi nyunggi wakul-kul artinya siapa yang menjunjung amanah rakyatnya dengan Gembelengan (sombong hati) maka akhirnya akan Wakul Ngglimpang atau amanahnya akan jatuh dan tidak bisa dipertahankan sehingga Segane dadi sak latar, kepemimpinannya itu berantakan sia-sia, tidak bisa bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.

Bagaimana menurut anda?

(Dari berbagai sumber)

Kontribusi Dirgantara Indonesia di Pesawat Airbus

$
0
0

Rupanya, Indonesia tidak hanya sebagai konsumen yang membeli pesawat Airbus buatan eropa saja. Ternyata, Indonesia tercatat sebagai satu pemasok berbagai program  Airbus.

Tempat pembuat  kontruksi pesawat Airbus tidak berada di satu negara, tetapi  terdapat di beberapa negara. Namun, untuk perakitan terakhir terdapat di Toulouse, Prancis dan Hamburg, Jerman, serta Tianjin,China. Pesawat badan lebar A350 XWB dirakit di Toulouse.

Bahan-bahan untuk membuat pesawat Airbus itu pun  tidak dibuat sendiri oleh Airbus, tetapi bekerja sama dengan berbagai pemasok di dunia. Terdapat kurang lebih 17.000 pemasok di dunia.

Apakah Anda sudah tahu Indonesia juga sebagai salah satu pemasuk Airbus?

Ternyata Indonesia, melalui PT Dirgantara Indonesia (DI) juga sebagai pemasok berbagai program untuk pabrik Airbus.

Airbus A350

Sean Lee, Communication Director Airbus S.A.S mengatakan di sektor manufaktur, PT Dirgantara Indonesia (DI) merupakan pemasok tidak langsung bagi Airbus dalam berbagai program Airbus.

“Di antaranya adalah pembuatan bagian hidung pesawat dan mesin untuk pesawat jenis A320, bagian hidung dan bagian samping sayap pesawat A380, serta kontrak untuk membuat bagian samping untuk sayap pesawat A350 XWB yang baru. PT DI baru-baru ini dipilih untuk paket pengerjaan struktur metal kerangka hidung A350-100,” kata  Sean Lee di sela-sela kunjungan ke Toulouse, Prancis.

Ternyata, PT DI  mempunyai spesialisasi pada bagian hidung pesawat dan bagian samping sayap. Produk buatan PT DI dipakai untuk tiga dari empat famili pesawat yang diproduksi oleh Airbus.  Ketiga famili itu adalah A320, A350XWB, dan pesawat badan lebar A380, kecuali famili A330.

Pesawat A320 merupakan  pesawat jet berbadan sempit, kelompok pesawat penumpang komersial jarak dekat sampai menengah yang memberikan kontribusi sekitar 70% ke perusahaan Airbus.

Lalu tipe pesawat A350 XWB (extra wide body) yang merupakan jet berbadan lebar. A350 merupakan pesawat Airbus pertama dengan struktur kedua sayap pesawat dibuat dari polimer diperkuat serat karbon.

Pesawat ini membawa penumpang 270-350 orang di tempat duduk kelas tiga. Kemudian pesawat A380 merupakan pesawat berbadan lebar dua tingkat dengan empat mesin yang mampu memuat 850 penumpang dalam konfigurasi satu kelas atau 555 penumpang dalam konfigurasi tiga kelas.

Bisnis.com

Spesies Lebah-lebah ini hanya ada di Indonesia

$
0
0

Seorang peneliti di Museum Natural History di London, Inggris, yang melakukan penelitian tentang serangga di Kalimantan dan Jawa dalam empat tahun terakhir, mengatakan ia menemukan ratusan lebah yang hanya dapat ditemukan di Indonesia.

Andrew Polaszek saat ini tengah meneliti serangga yang ia kumpulkan baru-baru ini dari penelitian di Gunung Halimun, Jawa Barat.

Penelitian ini melibatkan 30 ilmuwan dari Inggris, Indonesia, Jerman, dan Norwegia untuk menemukan spesies baru yang ada di Gunung Halimun.

“Setidaknya ada ratusan spesies lebah yang hanya ada di Indonesia. Jumlah tersebut tentu masih bisa bertambah,” kata Polaszek dan menambahkan bahwa di Papua terdapat spesies yang hanya ditemukan di satu bukit tertentu.

Profesor Polaszek dan rekan-rekannya melakukan riset tentang keanekaragaman hayati yang masih belum diteliti di Indonesia.

Untuk Polaszek sendiri, fokusnya adalah lebah dengan ukuran mikro.

“Penelitian ini baru dimulai tahun ini dan baru akan selesai empat tahun lagi,” kata Polaszek.

Manfaat penelitian ini untuk menemukan spesies tersembunyi di Indonesia sebagai “pusat keanekaragaman hayati” di dunia.

“Menjaga keajaiban hutan dan alam sangat penting untuk Indonesia dan dunia,” tambahnya.

Dari semua lebah yang ada di Indonesia, favorit profesor lulusan Imperial College London ini adalah lebah berukuran mikro bernama Megaphrama.

Ia mengatakan lebah yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop ini memiliki manfaat sebagai pembasmi hama parasit di kebun teh.

Dalam ekspedisi bulan September lalu, Polaszek mengatakan ia telah mengumpulkan sekira 10.000 spesimen dalam dua minggu.

“Saya bersemangat untuk segera menganalisis temuan lapangan ini di laboratorium,” tuturnya.

Maret mendatang, profesor penggemar rendang ini berencana kembali ke Indonesia dan melakukan penelitian lebih jauh dan berharap bisa menemukan spesies baru. (detik.com)

Merajut Kembali Mimpi di Langit Nusantara

$
0
0

Industri dirgantara Indonesia sedang berbahagia.   Untuk pertama kalinya, PT Dirgantara Indonesia (DI) memperlihatkan secara fisik wajah pesawat karya terbarunya hasil kerja sama dengan PT Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), N-219, kepada publik.

Peristiwa ini seakan menjadi momen bersejarah pencapaian penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa ini, sekaligus menjadi milestone penting untuk masa depan industri penerbangan Tanah Air. Kehadiran N-219 tidak hanya memberi pesan industri dirgantara Indonesia masih hidup, tapi juga masih berani bermimpi besar dan mampu mewujudkan mimpi.

Kehadiran N-219 memang tidak sekadar memberi gambaran PT DI telah bangun dari tidurnya yang panjang, tapi juga melanjutkan mimpi indah setelah sekian lama didera mimpi buruk. Hal ini terkait keputusan pemerintah menghentikan proyek N-250, termasuk rencana membuat N-2130, sebagai bagian program restrukturisasi IMF kala krisis ekonomi 1997. Dampaknya saat itu tidak hanya membuat PT DI mati suri, tapi juga memaksa ratusan ahli penerbangan Indonesia hengkang ke berbagai negara demi menyambung hidup.

Setelah pemerintah merestrukturisasi PT DI, perusahaan pelat merah tersebut memang sudah kembali berjalan dan menikmati keuntungan. Namun, bisnis yang berjalan tersebut bukanlah ideal, karena hanya sebatas menyuplai komponen dan merakit pesawat. N-219, meskipun sejumlah komponen penting belum bisa dibuat, sepenuhnya merupakan hasil rancang bangun anak bangsa dan sepenuhnya mengusung merek Indonesia. Kebanggaan akan kemandirian itulah yang diimpikan.

 

Kehadiran N-219 jika diselisik dari sisi perhitungan bisnis, sebenarnya tidak berbeda dengan sikon waktu peluncuran N-250, tepat 20 tahun lalu. Saat itu, Menristek BJ Habibie sudah menghitung betul pesawat tersebut akan mampu bersaing dengan kompetitornya saat itu, ATR42-500, Dash 8-300, dan Fokker -yang kemudian pabriknya ditutup- untuk memenuhi lonjakan permintaan pesawat jarak pendek, termasuk permintaan maskapai penerbangan dalam negeri. Prediksi tersebut benar karena ATR kemudian merajai pasar pesawat komuter berpenggerak propeler tersebut.

 

Namun, pemikiran strategis BJ Habibie memang terlampau jauh untuk zamannya. Sulit dibayangkan N-250 bukan merupakan proyek mercusuar yang berhenti pada kebanggaan an sich. Pun sulit dibayangkan bahwa kelak perekonomian Indonesia kelak semakin membaik dan mobilitas penduduk antarwilayah semakin tinggi. Sulit dibayangkan pula, kini kerumunan penumpang di Bandara Soekarno-Hatta mengalahkan Terminal Kampung Rambutan, dan Bandara Juanda Surabaya mengalahkan Terminal Bungurasih, karena penerbangan telah menjadi sarana transportasi utama di Tanah Air.

Kini optimisme penuh menaungi kehadiran N-219 yang direncanakan akan terbang perdana akhir tahun ini. Pasar transportasi yang menghubungkan berbagai wilayah dan kepulauan di Tanah Air dengan berbagai karakteristiknya sangat membutuhkan pesawat yang mampu terbang dan mendarat di landasan pendek, hemat bahan bakar, multifungsi, dan tentu saja canggih agar mampu menjawab medan ekstrem. Semua tantangan tersebut sudah disadari para insinyur yang membidani kelahiran N-219. Optimisme kian membuncah karena PT DI sudah menerima pesanan 200 unit.

Semoga tidak ada lagi “puting beliung” yang mengganjal di tengah jalan, hingga N-219 sukses melakukan uji terbang, mendapat sertifikasi, dan memenuhi permintaan pasar. Lebih dari itu, dengan sukses N-219, Lapan dan PT DI berani terus bermimpi. “Keep your dreams alive. Understand to achieve anything requires faith and belief in yourself, vision, hard work, determination, and dedication. Remember all things are possible for those who believe,” demikian petuah atlet legendaris juara dunia dan olimpiade Amerika Serikat, Gail Devers.

Mimpi besar Lapan dan PT DI untuk mengembangkan pesawat penumpang terbaru, seperti N-245 berkapasitas 50 orang dan N-270 berkapasitas 70 orang, yang dicanangkan mulai 2016 nanti bukanlah mimpi di siang bolong jika seluruh jajarannya fokus dan terus bersemangat untuk mewujudkannya. Tentu saja, mimpi besar itu akan semakin mudah jika mendapat dukungan penuh dari pemerintah, maskapai penerbangan, dan semua pihak terkait. Semoga!

source: http://nasional.sindonews.com/read/1059299/16/n-219-dan-mimpi-besar-1446744378

 

 

Inilah Spesifikasi N-219, Pesawat Baru Buatan Anak Bangsa

$
0
0

N-219 adalah pesawat multi fungsi bermesin dua yang dirancang oleh Pt. Dirgantara Indonesia dengan tujuan untuk dioperasikan di daerah-daerah terpencil. Pesawat ini terbuat dari logam dan dirancang untuk mengangkut penumpang maupun kargo. Pesawat yang dibuat dengan memenuhi persyaratan FAR 23 ini dirancang memiliki volume kabin terbesar di kelasnya dan pintu fleksibel yang memastikan bahwa pesawat ini bisa dipakai untuk mengangkut penumpang dan juga kargo.

Pesawat N219 baru akan bisa diserahkan kepada pemesan pertamanya untuk diterbangkan sekitar 2016.  N-219 ini merupakan pengembangan dari NC-212 yang sudah diproduksi oleh PT DI dibawah lisensi CASA.

Pesawat N219 berkapasitas 19 tempat duduk dan cocok untuk penerbangan perintis. Pesawat ini tergolong mudah dan sederhana dalam proses perawatannya.

N219 memiliki konfigurasi yang dapat diubah dengan cepat, biaya operasi rendah, bersertifikasi dasar CASR 23 dan menggunakan sepasang mesin PT6A-42 yang masing-masing berkekuatan 850 daya kuda. Pesawat ini dirancang untuk mengangkut penumpang maupun kargo. Pesawat ini memiliki volume kabin terbesar di kelasnya dan pintu yang fleksibel.

N219 mampu lepas landas dan mendarat dalam jarak pendek atau hanya memerlukan landasan 500 hingga 600 meter. Pesawat ini juga dilengkapi dengan alat bantu navigasi sehingga mampu lepas landas dan mendarat di bandara bandara perintis dengan peralatan minimal.

Fitur Utama
Fungsi: angkut penumpang dan kargo (Multi fungsi, dapat dikonfigurasi ulang)
Kapasitas: 19 Penumpang (konfigurasi tiga sejajar)
Kinerja lepas landas dan mendarat: jarak pendek/STOL (600 m)
Biaya operasional: rendah
Mesin: 2 x 850 shp

Kinerja
Kecepatan jelajah maksimum: 395 km / jam (213 KTS)
Kecepatan jelajah ekonomis: 352 km / jam (190 KTS)
Rata rata feri Maksimum: 1580 Nm
jarak lepas landas (halangan 35 kaki): 465 m, ISA, SL
jarak mendarat (halangan 50 kaki): 510 m, ISA, SL
Kecepatan jatuh (stall): 73 KTS
Berat lepas landas maksimum (MTOW): 7270 kg (16,000 lbs)
Muatan Maksimum: 2500 kg (5511 lb)
Tingkat panjat 2300 kaki / menit (semua mesin operasi)
Jarak: 600 Nm

Para pemesan:
1. Maskapai Lion Air 100 unit

2. Nusantara Buana Air 30 unit

3. Pemda Papua dan Papua Barat 15 unit

4. Pemda Aceh 6 unit

5. Pemda Sulawesi 6 unit

6. Pemda Riau 4 unit

7. Thailand (Nomad) pengawas pantai sebanyak 18 unit dan cadangan 2 unit

8. TNI AL (Nomad) 1 skuadron 9-15 pesawat.

 

Wikipedia | Merdeka.com | Tempo.co


“Lost in Laos”

$
0
0

By Akhyari Hananto

Mungkin tak banyak yang pernah menonton film ini. Dua orang dari Italia, bernama Daniella dan Paolo berkelana di tempat bernama Vang Vieng, untuk menjelajahi sungai dengan ban mobil (tubing), arung jeram, dan berwisata. Di sebuah sungai yang arusnya deras, mereka terbawa arus hingga jauh ke pedalaman, dan mereka tak lagi mengetahui di mana keberadaan mereka. Minus perbekalan dan perlengkapan, mereka berdua memulai perjalanan di tempat yang baru mereka ‘temukan’ tersebut, menjadi tamu di sebuah desa kecil dimana keduanya diterima secara hangat oleh penduduk setempat, dijamu dengan berbagai macam kerahamahan, kenyamanan. perhatian, dan kekeluargaan.

“Lost in Laos” (foto: cfagenova.it)

Dan cerita film “Lost in Laos” pun dimulai dari sini.

Film sepanjang 113 menit produksi sebuah perusahaan perfilman di Italia tersebut mempotret suasana pedesaan Laos yang hijau, pegunungan yang asri, persawahan yang luas, dan yang paling utama adalah keramahtamahan penduduk Laos yang mempesona keduanya.

Dan saya benar-benar mengalami serta merasakan keramahtamahan rakyat Laos, sejak saya mendarat di bandara Wattay, satu-satunya bandara internasional di Vientiane, ibukota negara tersebut, hingga saya pulang 5 hari setelahnya. Entah mengapa, saya merasa seperti  di Yogya, kampung halaman saya. Hampir semua orang yang saya temui (bahkan hanya berpapasan), seolah ingin menyapa saya atau tersenyum pada saya. Saya juga melihat, orang-orang Laos (setidaknya di Vientiane) begitu laid-back, tidak terburu-buru, dan selalu menghargai tamu. Benar, seperti di Jogja.

IMG_8037

Rakyat Laos sedang khidmat dalam Festival That Luang di Vientiane

Suatu malam saya pergi sendirian ke night market yang letaknya hanya 5 menit jalan kaki dari hotel tempat saya menginap di tepi Sungai Mekong. Hampir semua (if not all) pedagang yang saya temui tersenyum pada semua orang saat berpapasan. Mereka tak berusaha menawarkan dagangannya kepada para pengunjung. Mereka baru menawarkannya ketika ada yang mendekat dan melihat-lihat barang daganganya mereka.

Suatu waktu, saya mencari stop-kontak multi-plug di pasar tersebut. Perlu diketahui, penjual di pasar tersebut umumnya adalah pedagang pakaian, souvenir, dan perhiasan, mencari stok kontak di pasar tersebut seperti mencari obeng di toko roti. Ketika saya bertanya ke salah satu pedagang di mana saya bisa membeli stop kontak, salah satu dari mereka (yang paling bisa berbahasa inggris) mengantarkan saya ke sebuah sudut pasar yang cukup tersembunyi, di mana ada seorang pedagang (iya, hanya satu) menjual peralatan listrik. Setelah selesai mengantarkan saya, dia serta merta pamit dengan menyatukan tangan di depan dada dan menunduk.

Saya terpana dibuatnya. Di era sekarang, masih ada yang seperti itu, bahkan di ibukota sebuah negara. Saya baru menyadari, bahwadDalam beberapa budaya lokal di Laos, ada larangan untuk meminta apalagi mengemis, yang ada adalah perintah untuk memberi dan membantu. Saya merasa, masih banyak yang patuh pada local wisdom Laos tersebut.  Tak hanya sekali, seringkali saya bertemu orang-orang seperti mereka. Yang lebih mengagetkan saya, mereka ini adalah anak-anak muda yang rentan terpengaruh budaya-budaya dari luar. Saya memang bertemua banyak sekali anak muda di Laos, negeri ini adalah negeri “termuda” di Asia Tenggara, di mana rata-rata usinya adalah 21.6 tahun.

Penjual souvenir yang sangat ramah di Night Market, di tepi Sungai Mekong, Vientinae

Penjual souvenir yang sangat ramah di Night Market, di tepi Sungai Mekong, Vientinae

Negara ini sedang dilanda demam pariwisata, makin banyak turis asing yang masuk ke Laos, dan berpotensi ‘menggoyang’ nilai-nilai nasional Laos yang sangat dipengaruhi nilai-nilai Budha Teravada dan politeisme local, yang keduanya hidup damai berdampingan selama ribuan tahun. Ada sekitar 4.5 juta turis asing masuk ke negara berpopulasi 6,5 juta tersebut. Proporsi yang sangat besar, terutama bagi Laos yang belum lama ‘mengenyam’ liku-liku dunia pariwisata. Kita tunggu saja, meski tentu saya berharap, mereka mampu mempertahankan competitive advantage tersebut.

Meski begitu, sebelum terlambat, let’s get lost in Laos.

 

 

Makna Anggun Sapaan ‘Sampurasun’

$
0
0

By Akhyari Hananto

Saya pertama kali mendengar ucapan “Sampurasun” di serial  sandiwara radio berpuluh tahun silam, yakni Saur Sepuh yang memunculkan ‘nama-nama besar’ seperti Brama Kumbara, Mantili, Raden Bentar, dan lain-lain. Masa itu, inilah acara radio paling digemari di seluruh Indonesia. Selain itu, acara-acara di TVRI waktu itu pun, karena kedekatan geografis dengan Jakarta dimana TVRI berada, banyak menampilkan drama-drama yang bersetting di Jawa Barat.

Di era itulah, saya mulai mengenal Jawa Barat , tanah Priangan , tanah Pasundan. Sebuah tempat yang penuh dengan hamparan pegunungan, sawah padi, kebun-kebun sayur, kebun teh yang hijau menyegarkan,  sungai yang mengalir, tari jaipong yang atraktif, angklung yang mengalun menghanyutkan, para petani yang saling tersenyum, dan tentu saja,…ehm…mojang priangan yang elok rupawan. Keindahannya luar dalam, mulai dari bentang alamnya yang menakjubkan, orang-orangnya yang santun, serta budayanya yang adiluhung.

Priangan atau Parahyangan yang berarti tempat para hyang (dewa) bersemayam. Menurut legenda Sunda, tanah Priangan tercipta ketika para dewa tersenyum dan mencurahkan semua berkah dan restunya. Kisah ini bermaksud untuk menunjukkan keindahan dan kemolekan alam Tatar Sunda yang subur dan makmur. :)

Satu hal yang pasti, saya terpesona dengan segala hal tentang Sunda, termasuk bahasanya yang indah. “Sampurasun” ada di dalamnya.

 

Sampurasun berasal dari kalimat “sampurna ning ingsuh” yang memiliki arti “sempurnakan diri Anda”.

Kesempurnaan diri adalah tugas kemanusiaan yang meliputi empat macam penyempurnaan. Keempat penyempurnaan itu adalah penyempurnaan pandangan, penyempurnaan pendengaran, penyempurnaan pengisapan, dan penyempurnaan pengucapan. Keempatnya bermuara pada kebeningan hati.

“Pancaran kebeningan hati akan mewujud sifat kasih sayang hidup manusia, maka orang Sunda menyebutnya sebagai ajaran Siliwangi, silih asah, silih asih, silih asuh.

(Dari Facebook  bupati Purwakarta pada 25 November 2015)

Ketajaman indrawi orang Sunda dalam memaknai sampurasun melahirkan karakter waspada permana tinggal, ditandai oleh ceuli kajaga ku runguna, panon kajaga ku awasna, irung kajaga ku angseuna, letah kajaga ku ucapnayang bermuara padahate kajaga kuiikhlasna (telinga terjaga oleh pendengarannya, mata terjaga oleh penglihatannya, hidung terjaga oleh penciumannya, lidah terjaga oleh ucapannya yang bermuara pada hati yang memiliki kebeningan).

Menurut LQ Hendrawan, seorang pemerhati budaya Sunda.  sapaan sampurasun memang menjadi ciri masyarakat Pa-Ra-Hyang (bukan Jawa Barat), khususnya mereka yang menempuh ajar pikukuh Sunda. Arti sampurasun adalah sebagai berikut.

SAM: sami/sama

PURA: keindahan/kesucian/kedamaian

SUN: sebutan bagi putra-putri bangsa Matahari (Bataraguru)

Dalam adab dan tata-kramanya, ketika sampurasun diucapkan, pengucapannya harus disertai dengan merapatkan kedua telapak tangan sambil menghadap kepada orang yang kita sapa. Berkaitan dengan usia, terdapat dua cara yang bisa dilakukan.

1. Menghaturkan sikap sembah di depan wajah sambil menunduk. Hal ini dilakukan bila obyek sapa berusia lebih tua dari yang menyapa.

2. Menghaturkan sikap sembah di depan dada dengan wajah menunduk. Hal ini dilakukan orang yang disapa usianya lebih muda.

Bila seseorang mengucapkan sampurasun, bagaimanakah cara menjawabnya? Apakah dengan mengucapkan sampurasun juga?

Jawaban atas sapaan sampurasun bukan dengan mengucapkan sampurasun kembali. Jawaban ucapan sampurasun adalah rampes yang biasanya disertai dengan ucapan mugia rahayu sagung dumadi. :)

(Dari Selasar.com dan sumber-sumber lain)

Gelombang Intelektual Ranah Minang

$
0
0

Akhyari Hananto

Dalam perjalanan sejarah, masyarakat Minangkabau mempunyai peran yang sangat penting dalam proses kemerdekaan Indonesia. Sederet intelektual yang berasal dari rahim Minang berkontribusi besar dalam transformasi menuju Indonesia merdeka. Sebut saja seperti Hatta, Sjahrir, Tan  Malaka, Agus Salim, M Yamin, Syafruddin Prawiranegara, dan tentu masih banyak lagi. Pun pasca kemerdekaan, tak terhitung tokoh-tokoh yang berkontribusi besar dalam membangun dan membesarkan Indonesia.

Apa yang membuat para cerdik cendikia, para tokoh bangsa, lahir dari tanah Minangkabau? Saya sudah beberapa kali ke Minangkabau, dan saya tak pernah berhenti terpukau karenanya. Salah satunya karena betapa besarnya gelombang intelektualisme di sana, setidaknya di masa lalu. Menurut saya, kombinasi budaya minang, sosial masyarakatnya, sekaligus keteguhan masyarakat Minang menjalankan perintah agamanya, berkontribusi besar mengapa cerdik pandai tumbuh subur.

Dan mungkin, Koto Gadang (sebuah desa di Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat) adalah salah satu yang patut kita pelajari.

Sepintas, Koto Gadang tak jauh beda dengan desa lain di Ranah Minang. Rumah Gadang yang megah di gerbang masuk desa seakan menunjukkan eksistensi yang kuat sebuah nagari atau desa dengan ciri khas Minang yang kental. Belum lagi dari sudut alamnya yang menggambarkan kesan romantis sebuah desa, seperti sering digambarkan dalam cerita-cerita dan syair Minang yang kental akan integrasi budaya dan alam. Daerah perbukitan yang hijau dan sejuk dengan hamparan sawah menjadi pembatas dengan nagari tetangganya.

Rumah adat Raja Mengkulu di Koto Gadang (sekitar tahun 1870)

Boleh dibilang, Koto Gadang memang menjadi gambaran sempurna sebuah desa yang indah di Sumatra Barat. Tak cuma itu, Koto Gadang juga sebuah desa bersejarah yang tak bisa dilepaskan dari sejarah orang penting Indonesia. Dari nagari di lereng Gunung Singgalang inilah lahir sejumlah tokoh nasional dan internasional. Mereka turut berperan besar memberi warna sejarah kebangkitan sebuah bangsa. Dari nagari ini pula lahir Perdana Menteri pertama Sutan Syahrir. Belum lagi, politisi legendaris yang juga Menteri Luar Negeri pertama H. Agus Salim. Tokoh pejuang hak-hak wanita yang juga wartawan wanita pertama di republik ini, Rohana Kudus, juga lahir di sana. Beberapa orang juga pernah menjadi menteri di pemerintahan-pemerintahan Indonesia sejak kemerdekaan. Puluhan di antaranya menjadi pejabat tinggi negara di berbagai bidang. Prof. Dr. Emil Salim adalah salah satunya.  Tercatat sembilan putra Koto Gadang pernah menjadi Duta Besar RI di berbagai belahan dunia.

Rohanna Kudus, jurnalis wanita pertama Indonesia

Koto Gadang juga melahirkan 10 jenderal dalam ketentaraan nasional. Tak terhitung lagi mereka yang menjadi pejabat lokal, pemimpin di berbagai perusahaan terkenal, intelektual, dan seniman. Sebut saja, pelukis Usman Effendi yang turut mendirikan Taman Ismail Marzuki. Puluhan arsitek, ahli hukum, dokter, ahli-ahli kemasyarakatan juga lahir dari desa yang terletak di ujung jalan dari arah Kabupaten Agam ini.

Nagari seluas 268 hektare yang terletak di Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, ini memiliki tradisi intelektualitas yang kuat. Sangat tepat jika kawasan ini disebut sebagai gudang kaum intelektual. Bersekolah dan mengenal huruf telah mencuat sejak awal abad 20. Pendidikan menjadi elemen sangat penting bagi masyarakat Koto Gadang sejak masa lalu. Di sebuah gedung yang kini telah dirombak menjadi sekolah madrasah, Agus Salim dan Sutan Syahrir menempuh pendidikan.

Awalnya, sejarah pendidikan di Koto Gadang mendapat cibiran dari para tokoh pejuang anti-Belanda di Tanah Minang. Maklum, suasana di Ranah Minang pada awal abad 20 masih diliputi dengan kebencian masyarakat terhadap Belanda akibat kekalahan dalam Perang Padri. Dalam suasana seperti itu sikap kooperatif keluarga para tokoh dengan pemerintah Belanda mengundang kontroversi. Namun, ternyata sikap ramah itu tak lain sebuah strategi untuk berjuang dengan cara lain.

Kedekatan para tokoh masyarakat Koto Gadang dengan Belanda membuat pemerintah kolonial akhirnya memberi izin pendirian Kinder Julies Vereneging, sebuah sekolah persiapan untuk memasuki sekolah Belanda. Kurikulum utama sekolah itu yakni mengajarkan bahasa Belanda. Tak lama kemudian sekolah persiapan ini menjadi sebuah sekolah resmi bernama Studenfond, sekolah yang menjadi cikal bakal lahirnya para intelektual dari Koto Gadang. Sejak Studenfond itulah, intelektualitas para pemuda setempat pun berkembang hingga dapat menempuh pendidikan di Belanda, atau di sekolah sekolah tinggi di Jawa.

Yayasan Amay Setia yang masih tegak berdiri

Sejarah pendidikan di Koto Gadang bukan sekadar dominasi kaum lelaki. Yayasan Amay Setia, misalnya, menjadi bukti sejarah kaum ibu turut berjuang untuk kemajuan desa. Yayasan ini didirikan 1911 oleh Rohana Kudus yang juga kakak kandung Sutan Syahrir. Melalui kepemimpinannya, para ibu berkumpul untuk mengembangkan berbagai kerajinan di desa agar bisa dipasarkan ke daerah luar. Mulai dari tenun sulam dan bordir serta kerajinan perak yang hingga kini masih dikenal luas sebagai produk-produk kerajinan berkualitas tinggi di seantero Ranah Minang.

Sejarah gemilang di masa silam membuat Koto Gadang sempat menjadi sebuah desa yang sangat populer di masa lalu, meski kini  sisa-sisa kegemilangan itu tak lagi terlihat dengan jelas.  seakan tinggal kenangan. Saya sempat bertemu dengan seorang penduduk yang telah berpuluh tahun tinggal di desa tersebut, beliau mengatakan bahwa banyak orang-orang pandai yang merantau ke luar untuk mencari penghidupan. Suasana desa memang terasa sepi dan lengang. Rumah-rumah tua yang besar dan megah, saksi bisu kegemilangan masa lalu, terlihat tak berpenghuni.

Namun sejarah takkan bisa dihapuskan. Koto Gadang, dan Minangkabau adalah tanah para ‘pendiri’ bangsa ini. Tentu kita berharap, sejarah ini menjadi bahan pelajaran, kebanggaan, dan jalan setapak menuju kecermelangan di masa depan. Semoga, dari Ranah Minang, kelak muncul tokoh-tokoh baru sekelas Moh Hatta, Sutan Sjahrir, Moh Yamin, Hamka, Sutan Takdir Alisjahbana, dan tokoh-tokoh besar lain.

Amien

(Wikipedia | Liputan6.com)

Sembilan Tari Bali Ditetapkan Menjadi Warisan Budaya Dunia

$
0
0

Sembilan tari tradisi Bali ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda Dunia berdasarkan hasil sidang UNESCO di Namibia, Afrika pada 2 Desember 2015.

“Sembilan tarian Bali sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda atau bagian dari Representative List of Intangible Cultural Heritage of Humanity UNESCO ” kata Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha.

Dewa Beratha mengatakan mendapat kabar informasi kepastian penetapan tersebut dari pesan singkat yang dikirimkan oleh Dohardo Pakpahan, Deputi Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Bidang Koordinasi Pendidikan, Pemuda dan Olahraga.

Sembilan tari Bali yang ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda Dunia oleh Badan PBB yang membidangi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaaan itu adalah Tari Barong Ket, Tari Joged Bumbung, Tari Legong Keraton, Drama Tari Wayang Wong, Drama Tari Gambuh, Topeng Sidhakarya, Tari Baris Upacara, Tari Sanghyang Dedari dan Tari Rejang.

“Kami sangat bergembira dan bersyukur dengan penetapan ini. Dengan demikian, Bali tidak saja mendapatkan perlindungan dari sisi pelestarian tari tradisi, sekaligus ke depannya semakin memberikan manfaat ekonomis,” ucapnya.

Dalam sidang UNESCO yang berlangsung siang hari waktu Namibia, Afrika atau mulai pukul 19.30 WIB, Indonesia lewat pengusulan tari Bali mendapatkan urutan ke-18 dari total 35 negara yang mengusulkan penetapan dari UNESCO.

“Kesembilan tari itu juga sudah mewakili keseluruhan tarian yang ada di Bali dengan melihat konsep sejarahnya, fungsi, maupun gaya tarinya,” ucapnya.

(Republika)

Kontainer Lipat, Karya Revolusioner Mahasiswa Indonesia

$
0
0

Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali mengharumkan almamaternya di kancah nasional. Kali ini, prestasi yang diraih berasal dari bidang transportasi. Adalah Latama Rizky Ramadhan, mahasiswa Jurusan Transportasi Laut yang menjuarai lomba penelitian transportasi nasional Adi Cipta Wahana Nusantara Award 2015 di Jakarta.

Mengusung makalah dengan judul Optimalisasi Biaya Logistik dalam Imbalance Cargo Market dengan Peti Kemas Lipat, ia berhasil menyabet predikat sebagai juara satu. “Kompetisi ini diadakan langsung oleh Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Perhubungan,” tuturnya.

Ilustrasi

Tama sengaja mengambil studi kasus pada rute angkut Surabaya-Ambon. Pasalnya, data yang diperoleh Tama menunjukkan selisih muatan kontainer yang mencapai 29 persen. “Misalnya ada 100 kontainer menuju Ambon, nanti ketika kembali hanya sisa 70 kontainer,” jelasnya.
Terdapat tiga kemungkinan yang ia prediksi tentang hal ini. “Kemungkinannya antara kontainer dibiarkan di Ambon atau dibawa kosongan ke Surabaya. Bisa juga dibuang ke pelabuhan lain,” tutur mahasiswa yang memiliki hobi bermain billiard ini.
Dari data tersebut, ia menyimpulkan ternyata banyak kontainer kosong yang dari jalur Indonesia Timur ke Barat. Padahal, biaya akomodasi kontainer yang kosong hampir sama dengan kontainer isi.
Untuk itulah Tama sengaja membuat konsep kontainer lipat. Dari segi finansial, biaya logistik yang dikeluarkan dapat ditekan hingga mencapai Rp 1,3 juta per teu (20 foot equivalen unit) atau Rp 3 milyar per tahun.
Dengan konsep ini, kontainer kosong sebanyak empat unit dapat dilipat menjadi satu ukuran kontainer. “Jadi bisa menghemat ruang di dalam kapal sebesar 25 persen,” tegas mahasiswa asal Jombang ini.
Ia menambahkan, selain hemat tempat kontainer lipat juga bisa meningkatkan keselamatan karena titik berat muatan yang lebih rendah. Pasalnya, kontainer kosong butuh tumpukan yang tinggi. “Kalau dilipat, titik gravitasinya lebih rendah dan stabilitasnya lebih bagus serta cocok untuk mendukung program tol laut,” ujarnya.
Tama mengaku konsep yang ia bawakan sebenarnya sudah mulai diterapkan di Belanda dan Amerika Serikat, hanya saja belum sampai diproduksi secara massal.
Sementara itu, inovasi yang dilakukan oleh Tama terletak pada perbedaan teknis pelipatan kontainer. “Kalau di Belanda dan Amerika butuh Harbour Mobile Crane (HMG), sedangkan di Indonesia cukup dengan forklift saja karena tidak punya HMG,” jelas mahasiswa angkatan 2010 ini.
Ia cukup yakin hasil penelitiannya mampu diaplikasikan di Indonesia. “Kendalanya mungkin dari sumber daya manusia kita sendiri. Siap tidak mengaplikasikan teknologi baru ini?” selorohnya.
Sejak awal, Tama memang tidak terlalu berharap menjadi juara. “Saingannya susah-susah, jurinya juga orang dari pelaku industrinya langsung. Saya cuma ingin tugas yang saya kerjakan dulu bisa bermanfaat,” ujar mahasiswa yang sedang sibuk mengerjakan tugas akhir ini.
Bahkan ia menyatakan sebelumnya tidak pernah mendengar ada perlombaan semacam ini di Indonesia. “Baru tahu tahun ini. Kebetulan tugas yang saya buat dulu sesuai dengan tema yang ditentukan. Setelah coba diikutkan, ternyata lolos,” ungkapnya.
Tama berharap buah pemikirannya ini bisa segera direalisasikan dan tidak berakhir menjadi wacana saja. Bahkan ia ingin mahasiswa ITS bisa mengikuti jejaknya. “ITS sudah sering juara di tingkat nasional maupun internasional. Yang terpenting, bagaimana hasil karyamu bisa berguna untuk masyarakat,” tegasnya.
Menteri Perhubungan Siap Mematenkan
Tak hanya memenangkan lomba, hasil penelitian Tama berhasil menarik perhatian Menteri Perhubungan Indonesia Ignasius Jonan. Bahkan, Jonan tak segan menyampaikan niatannya secara langsung kepada Tama mengenai rencana untuk mematenkan hasil penelitiannya.
Berdasarkan pengakuan Tama, hal yang mampu membuat Jonan kepincut adalah konsep kontainer lipat yang aplikatif serta mudah diterapkan di Indonesia. “Analisis yang disampaikan dalam penelitian saya juga sudah meliputi aspek operasional dan finansial,” pungkasnya sambil tersenyum. (fah/pus)
Viewing all 811 articles
Browse latest View live