by Akhyari Hananto
Saya masih tertidur ketika sekeliling saya berbunyi “grok grok grok” dan genting rumah berjatuhan satu per satu. Itulah getaran pertama tragedi gempa bumi Jogja 26 Mei 2006. Saya sedang ada di lantai 2 rumah saya, dan melihat bagaimana mobil yang saya parkir beberapa kali seperti terlempar beberapa cm ke udara karena getaran tersebut.
Sebelum sempat saya berlari keluar, saya masih melihat seorang anak kecil menangis tepat di depan pintu rumahnya yang terbuat dari batu bata, sedangkan seluruh rumahnya sedang bergoncang dan beberapa bagiannya mulai retak. Hampir pasti, bila rumah itu ambruk, si anak kecil pasti akan tertimbun batu bata, kayu, dan genting. Saya tidak mungkin sempat menolong dia waktu itu, karena hitungannya hanya sepersekian detik. Puluhan orang yang sempat melihatnya menjerit-jerit histeris karena melihat beberapa bagian rumah sederhana tersebut mulai retak, dan gentingnya mulai melorot ke bawah. Di saat saat yang menentukan itulah, seorang wanita berlari secepat kilat dan menyambar si anak kecil, hanya sepersekian detik sebelum rumahnya benar-benar roboh.
—
Ketika saya ke Filipina pada Desember 2006, negara itu sedang sibuk menghadapi Topan Reming yang menghantam kota Legaspi dari sekitarnya, yang terletak di Propinsi Albay. Kota Legaspi dan sekitarnya baru saja dihantam 3 bencana yang datang bersamaan, yakni longsor, banjir, dan angin topan. Saya bergegas ke kota tersebut (sekitar 1 jam naik pesawat ke arah tengah kepulauan Filipina), dan langsung menuju Bogna, salah satu desa yang paling parah terkena bencana. Di situ saya bertemu dengan sebuah keluarga yang sedang berkabung karena sang kepala keluarga ikut menjadi korban banjir dan longsor. Sergio, nama sang ayah tersebut, tertimbun longsoran pasir dari Gunung Mayon. Sergio terseret arus longsoran setelah berhasil menolong puluhan orang tua dan anak-anak menyeberang sungai yang arusnya sedang deras. Dia sendiri tak sempat menyelamatkan diri ketika tiba-tiba longsoran pasir menyeretnya jauh sebelum sempat menyelamatkan 2 orang terakhir di desanya. Sergio berhasil menyelamatkan 29 orang. Total ada 3 orang yang tewas di desa Bogna, salah satunya adalah Sergio.
—
Saya meyakini, apa yang dilakukan 2 orang di atas adalah ciri-ciri dasar pahlawan, spontan, berani melakukan sesuatu yang penuh risiko membahayakan dirinya (dan keluarganya), dan dia lakukan bukan untuk kepentingan diri sendiri. Kata kuncinya adalah kerelaan melakukan sesuatu bukan untuk dirinya.

Merah Putih di atap negeri (foto: Kaskus)
Teror yang menyerang pusat kota Jakarta kemaren, menyisakan banyak cerita-cerita luar biasa. Betapa bangsa ini, di luar begitu banyak tantangan dan hambatan di depan mata, adalah bangsa yang selalu satu rasa saat menghadapi musuh bersama. Bahu membahu membantu mereka yang berada dalam bahaya, bahu membahu menyebarkan foto dan berita, bahu membahu saling mengingatkan untuk berhati-hati.
Sesuatu yang sebenarnya tak boleh taken for granted. Di sadari atau tidak, bahkan di kota yang sering kita anggap paling ‘individualis’ di Indonesia pun, betapa kita telah mengambil pelajaran berarti dari Teror Jakarta kemaren. Hati kita tetap hati Indonesia, yang tak akan bersembunyi dan berdiam diri saat bahaya mengancam. Mereka bergerak, bukan untuk dirinya…namun untuk saudara-saudaranya, untuk bangsanya.
Saudara-saudara kita di Jakarta telah memberi satu hikmah sangat berarti, bahwa bangsa ini tak hanya bangsa yang satu, namun juga bangsa yang BERANI!